Deal Keren hari ini

http://www.dealkeren.com/jakarta/invitation/?s=30361a9dfdb17c1885a833e78303ebdd

Jumat, 28 Maret 2008

Pulsa Murah Sementara atau Selamanya ????? (menyikapi persaingan di industri seluler Indonesia)


akhirnya saya mempunyai waktu juga untuk kembali menulis dan mengupdate segala pikiran-pikiran yang telah ada di otak saya. selama seminggu lebih saya tidak mengupdate blog ini, karena liburan paskah kemarin saya pulang ke kota kelahiran saya di semarang untuk menemui keluarga tercinta dan wanita yang paling saya cintai serta merayakan paskah bersama mereka dan juga disamping berbagai kesibukan yang mewarnai hari-hari saya.

akhir-akhir ini kita melihat berbagai iklan dan tawaran menarik yang ditawarkan oleh para operator seluler dan cdma, mereka berlomba-lomba mengklaim bahwa dirinyalah yang paling murah, paling lengkap, bla bla bla dan seterusnya. karena itulah saya mempunyai pikiran untuk menulis apakah harga yang mereka tawarkan memang untuk selamanya (biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengakuisisi pelanggan baru) atau hanyalah sementara (promotional). untuk itu mari kita cermati dan bahas satu persatu. memang postingan kali ini agak berbeda karena tidak terlalu marketing, namun hal ini juga penting bagi para marketer bahwa perlu diingat "janji yang meleset dari promosi suatu produk akan menyebabkan produk tersebut mulai ditinggalkan pelanggannya di pasar (over promise)."


I. Persaingan Industri Seluler di Indonesia

Industri telepon seluler mengalami perkembangan yang pesat dalam dua dekade terakhir ini, baik di negara maju ataupun sedang berkembang. Di Indonesia pun telepon seluler telah mengubah peta industri telekomunikasi secara radikal. Dimana telepon yang dulunya merupakan barang mewah, sehingga hanya kelompok tertentu yang bisa menikmatinya, sekarang dengan mudah mendapatkannya, murah lagi, baik dalam sarana telekomunikasi fixedline wireline ataupun fixedline wireless serta seluler. Semua lapisan masyarakat memiliki akses untuk dapat menggunakan sarana telekomunikasi untuk berbagai keperluan, baik untuk urusan bisnis, keluarga, ataupun keperluan lainnya. Demikian juga semua lapisan masyarakat dari lapisan elit sampai pembantu rumah tangga dari kota besar ataupun pelosok-pelosok di seluruh Indonesia dapat mengakses sarana telekomunikasi yang ada. Apalagi program universal service obligation (USO) sudah menjadi program pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini. Sehingga pelayanan jasa telekomunikasi dibawa ke daerah-daerah terisolir, meskipun hasilnya masih belum memuaskan.

Akhir-akhir ini kita melihat persaingan yang semakin ketat antar operator dalam menarik konsumen supaya tertarik untuk menggunakan produknya, khususnya untuk fixedline wireless ataupun seluler. Bahkan dalam beberapa media kita saksikan perang harga untuk menarik pelanggan dilakukan oleh berbagai operator, sampai-sampai ada yang menawarkan sms gratis ataupun percakapan gratis guna menarik konsumen. Sehingga masyarakat ataupun konsumen pun yang mulai cerdas juga banyak memanfaatkan perang harga tersebut untuk mendapatkan harga termurah dengan sering berganti operator ataupun memiliki beberapa jasa pelayanan dari beberapa operator. Oleh karena itu pasar telepon seluler di Indonesia diperkirakan memiliki tingkat perputaran pelanggan bulanan tertinggi di dunia. Pelanggan telepon seluler di Indonesia begitu mudah untuk berganti nomor telepon ke operator lain. Hal ini tidak terlepas dari persaingan antar operator telekomunikasi di Indonesia. Angka perputaran pelanggan telepon seluler di Indonesia diperkirakan mencapai 8,6 persen dalam sebulan. Sementara angka perputaran pelanggan di India mencapai 4 persen per bulan, Malaysia 3,7 persen per bulan, Philipina 3,1 persen per bulan, Thailand 2,9 persen per bulan, Cina 2,7 persen per bulan, dan Bangladesh 2,1 persen per bulan

Perkembangan yang pesat pada industri telekomunikasi akhir-akhir ini terutama didorong oleh pekembangan yang pesat dari pasar seluler. Dimana sejak awal perkembangannya produk seluler berbeda dengan telepon tetap dengan jaringan kabel yang dimonopoli oleh PT Telkom. Sementara telepon seluler sejak awal sudah tidak ada hambatan masuk pasar bagi operator yang berminat dalam bisnis ini, sehingga persaingan antar operator dalam pasar ini cukup sengit. Bahkan akhir-akhir ini sudah menjurus pada perang harga. betapa perkembangan pasar seluler yang pesat juga diikuti dengan persaingan yang semakin ketat antar operator, sehingga pelayanan yang ada di pasar juga semakin beragam dengan berbagai fitur yang semakin menarik, jangkauan yang semakin luas, dan harga yang semakin murah. Sehingga manfaat yang diterima oleh masyarakat dengan semakin berkembangnya pasar seluler dapat dirasakan oleh masyarakat umum.

A. Struktur Industri Seluler (Structure)
Seperti kita ketahui bahwa struktur pasar yang biasanya dilihat dari jumlah pelaku dan pangsa pasarnya akan menentukan market conduct atau perilaku perusahaan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. Biasanya semakin bertambahnya jumlah penjual maka persaingan akan meningkat, sehingga keuntungan akan menurun. Sementara itu, derajat dari diferensiasi produk, pengetahuan penjual dan pembeli mengenai produknya serta adanya hambatan untuk masuk pasar juga mempengaruhi kekuatan penjual di pasar. Meskipun demikian biasanya dalam literatur sering digunakan Concentration Ratio (CR) dan Herfindahl Hirschman Index (HHI) untuk mengukur derajat konsentrasi pasar. Biasanya nilai HHI antara 1000-1800 dinyatakan sebagai konsentrasi moderat, sedangkan lebih dari 1800 adalah konsentrasi tinggi.

Undang-undang RI no.36/1999 tentang Telekomunikasi memberikan pondasi bagi kompetisi pasar telekomunikasi di Indonesia. Meskipun belum merubah posisi dominan PT Telkom untuk penyelenggaraan jasa telepon tetap, baik untuk domestik maupun SLJJ sampai sekarang. Namun demikian sampai saat ini ada 3 operator yang melayani jasa telepon tetap, tetapi hanya PT Telkom yang dapat melayani seluruh wilayah Indonesia. PT Indosat (”Star One”) hanya beroperasi di Jakarta dan sekitarnya, Surabaya dan sekitarnya, dan wilayah Joglosemar (Jogjakarta, Solo dan Semarang). Sementara pendatang baru seperti PT. Bakrie Telecom, yang menyediakan layanan jasa telepon tetap nirkabel memiliki pangsa pasar yang kecil dan terbatas (layanan daerah Jakarta, Banten dan sekitarnya, namun telah memiliki lisensi FWA untuk seluruh Indonesia pada akhir 2006) meskipun sangat agresif dalam memasarkan produknya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kompetisi antara operator telepon tetap terbatas di daerah padat penduduk. Secara nasional, PT Telkom masih dapat dikatakan tetap “monopoli” tanpa pesaing baik melalui telepon tetap dengan kabel ataupun tanpa kabel dalam Flexi

Sementara itu kompetisi di telepon selular telah terjadi lebih intensif. Dimana PT Telkomsel dan PT. Indosat memiliki cakupan nasional, sedangkan Exelcomindo memiliki cakupan hampir di seluruh wilayah kecuali Maluku, dan Fren dari Mobile-8 hanya terdapat di pulau Jawa, Madura dan Bali. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kompetisi antara operator seluler secara praktis terjadi hanya pada 3 operator. Bahkan, PT Telkomsel menguasai 59,6% pasar, yang berarti merupakan pemain dominan di pasar. Rasio konsentrasi tiga perusahaan besar tersebut (CR3) adalah 0,989 dan Indeks Herfindahl adalah 4450 pada tahun 2005, yang mengindikasikan struktur pasar oligopoli yang sangat ketat.

Dengan melihat data-data sebelumnya nampak bahwa konsentrasi pasar pada industri telekomunikasi masih tinggi. Namun hal tersebut dapat dimengerti sebab liberalisasi industri telekomunikasi yang dilakukan sejak tahun 2002 belum mampu mengubah struktur pasar secara drastik dengan cepat. Namun demikian liberalisasi industri telekomunikasi telah mendorong masuknya lebih banyak operator, sehingga persaingan antar operator dalam menarik pelanggan juga semakin ketat. Secara umum dapat dikatakan bahwa liberalisasi pasar telekomunikasi Indonesia telah membawa dampak yang besar pada industri telekomunikasi sehingga masyarakat luas diuntungkan dengan semakin banyaknya operator yang masuk pasar dan beragamnya jasa telekomunikasi yang ditawarkan di pasar dengan kualitas yang lebih baik dan harga lebih terjangkau meskipun sampai saat ini incumbent masih memiliki posisi dominan di pasar

Hingga saat ini di Indonesia telah hadir 10 operator yaitu Telkom, Telkomsel, Indosat, Excelcomindo (XL), Hutchison (3),Sinar Mas Telecom,Sampoerna Telecommunication, Bakrie Telecom (Esia), Mobile-8 (Fren), dan Natrindo Telepon Selular (sebelumnya Lippo Telecom). Dari jumlah ini, pelanggan fixed phone sekitar 9 juta dan pelanggan selular 64 juta pada tahun 2006. Kalau dibagi berdasarkan platform yang digunakan, pemakai GSM selular sebanyak 88%, CDMA selular 3%, dan CDMA fixed wireless access (FWA) 9%. Namun dari sepuluh operator itu hanya 3 operator yang memiliki pangsa pasar lebih dari 5% yaitu Telkomsel, Indosat dan Excelcomindo. Hal ini menyebabkan tingkat persaingan antar operator di Indonesia mengalami peningkatan. Dan para pelanggan telepon seluler juga menikmati manfaat dari persaingan tersebut.


B. Perilaku Pasar (Conduct)
Seperti kita ketahui bahwa struktur pasar biasanya akan mempengaruhi perilaku pelaku pasar. Ada beberapa indikator perilaku pasar yang sering digunakan selama ini, antara lain penetapan harga, jumlah produk yang dijual, investasi, iklan, reaksi terhadap inisiatif pesaing, penerapan teknologi baru dan inovasi. Dimana semakin tingginya persaingan karena semakin banyaknya pelaku usaha seperti dalam industri telekomunikasi mengakibatkan meningkatnya kegiatan periklanan, penurunan harga, dan munculnya berbagai ragam layanan yang ditawarkan operator, sehingga pengguna menikmati rendahnya harga, kualitas layanan yang lebih baik, dan beragam pilihan jasa.

bahkan tarif promosi yang ditawarkan luar biasa murahnya, demikian iklan yang gencar banyak dilakukan oleh operator. Perkembangan akhir-akhir ini bahkan menunjukkan bahwa persaingan dengan menawarkan pulsa ataupun sms gratis dengan kondisi tertentu juga terjadi

Hal ini wajar pada tahap awal perkembangan pasar yang masih mencari keseimbangannya. Apalagi untuk industri telekomunikasi yang sarat teknologi dan sangat dinamis merupakan hal yang wajar bagi perusahaan-perusahaan untuk menguji pasar, mengukur reaksi pesaing, dan mengubah tingkah laku mereka untuk menyesuaikan dengan strategi dan kondisi pesaing

dapat dilihat bahwa PT Bakrie Telecom (Esia) adalah operator yang menerapkan harga murah (Rp.50 per menit antar pelanggan on-net), dan Rp.800.- per menit untuk panggilan ke pelanggan off-net. Sedangkan untuk telepon bergerak, PT Mobile-8 (Fren) tarifnya Rp.275 untuk menit pertama dan Rp.14 untuk tiap menit berikutnya untuk on-net, dan Rp.800 per menit untuk panggilan off-net. Jelas dapat dilihat bahwa kedua operator tersebut menggunakan strategi tarif murah untuk menyaingi pesaingnya. Jadi dapat dilihat bahwa new comer menggunakan tarif rendah untuk penetrasi pasar. Demikian juga pemain lama (incumbent) juga tidak mau kalah, mereka juga menerapkan hal yang sama. Sehingga perang harga antar operator tak terelakkan

Selain itu tarif promosi juga banyak dilakukan oleh operator, diantaranya PT Excelcomindo Pratama menurunkan tarifnya sebesar kira-kira Rp.149 per 30 detik, sementara Simpati (PT Telkomsel) memberlakukan tarif Rp.300 per menit untuk pelanggan yang melakukan panggilan antara pukul 23.00 hingga 07.00. PT Indosat (Mentari) bahkan memberikan gratis kepada pelanggan yang melakukan panggilan antara pukul 00.00 hingga 05.00. Gambaran tersebut mengindikasikan bahwa industri telekomunikasi baik untuk jaringan tetap tanpa kabel dan seluler di Indonesia pada saat ini telah memasuki situasi “perang tarif” sementara para operator baru berusaha memaksimalkan kapasitas jaringan yang dimilikinya. Oleh karena itu perang tarif nampaknya akan tetap terjadi sampai dengan kapasitas jaringan digunakan secara penuh

Perkembangan akhir-akhir ini bahkan menunjukkan perang tarif yang semakin gencar sehingga banyak operator yang menawarkan berbagai keuntungan seperti roaming gratis, tarif telepon interlokal sama dengan tarif lokal, bonus pulsa, dan lain-lainnya. Adanya perang tarif antar operator tersebut menyebabkan tarif telepon seluler cenderung mengalami penurunan

Kecenderungan turunnya tarif seluler sebagai akibat perang tarif antar operator mengindikasikan bahwa persaingan antar operator seluler semakin ketat.

Pelaku dalam industri telekomunikasi tidak banyak sebagaimana halnya dalam struktur pasar yang bersaing sempurna (perfect competition), yang didalam praktek struktur pasar persaingan sempurna jarang ditemui. Struktur pasar oligopoli adalah ciri dari industri telekomunikasi di seluruh dunia. Namun demikian pasar oligopoli tidak dengan sendirinya diikuti oleh persekongkolan horisontal dalam bentuk kartel misalnya. Fakta di Indonesia menunjukkan bahwa katel dalam bentuk price fixing atau market division tidak terjadi, justru perang harga (price war) yang disertai dengan berbagai bentuk persaingan non-harga (non-price competition).

Dibandingkan dengan tarif telepon di negara lain, tarif yang berlaku di Indonesia berada di posisi tengah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Hal ini wajar mengingat kebutuhan investasi, skala ekonomi, penggunaan teknologi, dan besarnya pasar berbeda antara satu negara-dengan negara lain, yang dengan sendirinya menyebabkan perbedaan struktur biaya dan tingkat harga. Untuk telepon tetap ternyata beberapa tarif Indoneia lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia meskipun lebih mahal dari India. Demikian juga pada telepon bergerak, beberapa tarif Indonesia lebih mahal dari India meskipun lebih murah dari negara-negara tetangga lainnya.


C. Kinerja (Performance)

Kinerja dari industri telekomunikasi dapat dilihat dari berbagai aspek. Meski demikian dalam tulisan ini akan dilihat dari sisi output yang dihasilkan, ARPU dan profitabilitasnya. Dari sisi output jelas bahwa semakin banyaknya operator dan juga semakin baiknya pelayanan serta semakin murahnya tarif dan portabel nya handset telah membuat jumlah pelanggan seluler juga meningkat pesat. Ini tentu saja menguntungkan masyarakat luas sebagai pengguna jasa layanan seluler. Demikian juga dilihat dari luasnya jangkauan layanan seluler yang sudah meliputi seluruh Indonesia (menurut klaim dari operator) jelas menguntungkan pelanggan.

Demikian juga semakin banyaknya operator baru yang masuk pasar telekomunikasi telah meningkatkan kompetisi, menurunkan tarif, sehingga berdampak pada penurunan tingkat Pendapatan Rata-rata per Pengguna (Average Revenue per User-ARPU) di banyak operator. dapat dilihat bahwa sebagian besar operator turun ARPU nya, kecuali pada PT Telkom dan PT Bakrie Telekom. Flexi pun yang baru diluncurkan tahun 2003 ikut-ikutan turun ARPU nya sejak PT Bakrie Telecom masuk, dan gencarnya promosi perang harga operator jaringan bergerak. Demikian juga ARPU telepon seluler seperti PT Telkomsel, PT Indosat dan PT Excelcomindo Pratama juga turun. Dimana ARPU campuran dari 3 operator seluler sudah dibawah Rp.100.000,-.

Untuk mengetahui kinerja industri telekomunikasi selain dilihat dari sisi kepentingan masyarakat seperti perubahan harga, perubahan layanan, dan cakupan jaringan juga perlu dilihat dari sisi keuangannya atau tingkat profitabilitas. Dari data Return on Asset (ROA) operator di pasar dapat dilihat bahwa banyak operator turun ROA nya pada tahun 2005.

PT Excelcomindo yang turunnya terbesar, dari 10,2% di tahun 2004 menjadi 6,1% untuk tahun 2005. Sementara itu PT Telkomsel cukup dinamis, ROA nya meski turun pada tahun 2004, pada tahun 2005 meningkat lagi. Demikian ROA PT Telkom juga meningkat pada tahun 2005 meski lebih rendah dari tahun 2002. Perkembangan ini menunjukkan dinamisnya pergerakkan biaya dan pendapatan jangka pendek, dibandingkan dengan potensi keuntungan jangka panjang

Perkembangan ROE tidak banyak berbeda dengan kondisi ROA. Dimana ROE PT Excelcomindo turun sangat tajam dari 63,4% pada tahun 2004 menjadi 15,7% di tahun 2005, meskipun masih lebih tinggi dari PT Indosat dan PT Bakrie Telecom. Sementara itu PT Telkomsel masih saja bagus ROE nya, 48% pada tahun 2004, menjadi 51% pada tahun 2005. Pada saat yang sama ROE PT Telkom turun dari 30,3% di tahun 2004 menjadi 24,3% pada tahun 2005. Pendatang baru PT Bakrie Telecom mencatat peningkatan ROE dari 1.32% (2004) dan 0.13% (2005). Secara umum dapat dilihat adanya trend penurunan ROE yang merefleksikan adanya peningkatan kompetisi.


II. Era Pulsa Murah

Ini pasti menyenangkan. Pada saat harga kebutuhan pokok melonjak karena terseret oleh naiknya harga minyak di pasaran dunia dan menyebabkan Indonesia mengalami inflasi di berbagai sektor, tarif seluler akan segera turun. Kepastian turunnya tarif ini diperoleh setelah muncul regulasi tarif interkoneksi baru yang diumumkan Menteri Komunikasi dan Informatika. Isinya adalah tarif interkoneksi sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) dan seluler turun 5 % hingga 40 %. Regulasi ini juga bisa menyeret tarif seluler reguler ke angka yang lebih kecil. Aturan tarif interkoneksi tersebut harus dilaksanakan oleh operator seluler mulai 1 April mendatang. Penurunan paling besar terjadi pada layanan komunikasi lokal antar seluler beda operator. Selama ini batas atas yang diberlakukan adalah Rp. 898 permenit, dipangkas 42% menjadi Rp. 522 per menit. Penurunan terkecil terjadi pada komunikasi lokal seluler ke PSTN yang sebelumnya Rp. 513 per menit menjadi Rp. 464 per menit atau diturnkan 9,5%.


III. Pulsa Murah (Apa Iya ??????)

Di berbagai media massa dan media elektronik serta media iklan outdoor kita sering kali melihat berbagai operator berlomba-lomba mengiklankan diri bahwa tarif mereka adalah tarif yang termurah. Tapi apakah tarif murah tersebut sudah wajar dan memang benar-benar murah ??? tarif murah belum tentu wajar lho!!!!

Tarif yang wajar adalah tarif yang menjamin kesinambungan berlangsungnya usaha telekomunikasi.
Kita tentunya tidak menginginkan terjadinya perang tarif yang mengakibatkan para penyelenggara komunikasi justru saling membunuh. Jika ini yang terjadi, pada akhirnya konsumen justru kehilangan jasa telekomunikasi yang berkualitas.

pada sisi lain, konsumen berhak menikmati kualitas jasa telekomunikasi yang wajar dengan tarif yang wajar. Ini berarti bahwa konsumen berhak menikmati tarif yang murah tanpa mengorbankan kualitas dari jasa telekomunikasi itu sendiri. Misalnya, karena tarif yang sangat murah mengakibatkan peningkatan volume percakapan karena teledensitasnyapun naik sehingga kapasitas networkpun menjadi naik dan overload dan mengakibatkan pembicaraan terputus di tengah jalan.

Apa benar tarif yang mereka gembar-gemborkan lewat iklan benar-benar murah ???? Jawabannya : BELUM TENTU MURAH, karena selalu terdapat tulisan-tulisan kecil yang menyatakan "syarat dan ketentuan berlaku". Tulisan-tulisan kecil ini sangat bermakna di dalam menentukan tarif percakapan. Yang paling penting adalah tarif murah hanya berlaku untuk sesama pelanggan satu operator atau dengan istilah teknis percakapan on net. Adapun untuk percakapan antar operator yang berbeda atau tarif off net tarif hampir tidak mengalami perubahan yang berarti. Tarif murah hanya bisa dinikmati dengan cara tertentu dan tidak berlaku secara keseluruhan.


Perbedaan tarif antara on net dan off net sebenarnya menciptakan kondisi subsidi silang karena tingginya tarif off net dan rendahnya tarif on net. Padahal biaya investasi jaringan tidak membedakan antara jaringan untuk off net dan on net. Operator bisa memberikan tarif on net sangat murah karena tidak ada konsekuensi biaya kepada pihak ketiga. Jadi sebenarnya batas bawah tarif on net adalah NOL ALIAS GRATISSSS!!!, meskipun secara operasional operator mengalami kerugian. Namun hal ini bisa dilakukan untuk sementara waktu untuk mematikan persaingan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tarif murah itu hanyalah senjata marketing untuk mengakusisi pelanggan antar operator. Dengan tarif murah dan sering kali layanan yang diberikan trouble karena network overload para operator tersebut sudah untung walo cuma sedikit!!!!!

Pulsa murah atau tarif murah menurut saya hanya sementara karena merupakan strategi marketing untuk mengakuisisi pelanggan antar operator. Jadi buat operator-operator di luar sana buatlah tarif yang wajar dengan tidak mengurangi jasa yang diberikan. Jangan "OVER PROMISE" lah kalo orang marketing bilang...

2 komentar:

Bain mengatakan...

Tulisan cukup baik namun Komentar saya sbb :
1. Kontradiksi statemen ttg adanya perang harga tapi jg timbul permainan tarif OnNet dan offNet. Jika ujung2nya tetap mahal bagi konsumen thdp semua jenis call maka lebih tepat disebut perang gimmick bukan price war, saat ini murah hanya perceptual, memang memanfaatkan kondisi price sensitif masyarakat yang dominan non-edukatif.
2. PSTN Monopoli ya, namun prinsipnya kompetisi bukankah akibat adanya prinsip ada "gula ada semut", Sepanjang bisnisnya menarik pasti investor akan masuk kedalamnya. Kalau investasi jaringan akses pelanggan telepon rumah mahal dan tarif ke user diatur ketat pemerintah BRTI apa harus dipaksakan kompetisi harus jalan? Frame of thingking yg sgt simple, PSTN tidk maju krn tdk ada kompetisi, bukankah hrsnya dibuat menarik dulu bisnisnya PSTN Telp Rumah, agar pemainnya byk? Akibatnya orang males bangun invest jaringan kabel tapi maunya bisnis SLJJ dan SLI, ini kan aneh, ibarat obat IMF bantuan likuidasi bank tanpa melihat kelakuan investor banknya yg mutarin uang (moral hazard).

Rgds Salam holistik,

Freddy Bain

Rezaly mengatakan...

Alo mas,kbetulan saya bekerja di salah satu operator. Mas sendiri berkerja dibidang konsultan ya sptnya ? hehehe. Btw tulisan anda original dan saya angkat topi.

Ijinkan saya sedikit memberi sedikit komentar. sewaktu saya diberi tugas untuk membimbing mahasiswa tour office dan memberikan presentasi, akhirnya saya memperoleh sedikit kesimpulan mengenai apa yg diistilahkan dengan pasar industri seluler, yaitu sbb :

Meneurt teori mikroekonomi(SAMUELSON), jenis pasar industri seluler indonesia adalah OLIGOPOLI dgn ciri2 sbb :
a. Hanya ada beberapa pemain besar, which is TELKOM dan ISAT
b. Produk HOMOGEN, semua bisa bikin produk serupa

Keuntungan OLIGOPOLI , makin pasar tidak sempurna (sedikit pemain besar) maka PROFIT TETAP BESAR

Kelemahan nya adalah lebih disisi value bagi customer yg rendah

khusus bagi MARKET LEADER dan pasar OLIGOPOLI tantangannya ada 2 yaitu :
1. Tidak ada REVOLUSI TEKNOLOGI . ingat sejarah POS dibantai PAGER dibantai AMPS dibantai GSM. Mengapa GSM tidak terbantai CDMA ? nah itu tugas Anda mengajari saya hehehe

2. ML (Market Leader) harus tetap berinovasi / value added service, jika lengah maka bisa tersalib. Principal harus memiliki KILLER APPLICATION

3. Satu2nya cara untuk MENANDINGI ML adalah Perang Tarif (sensitive). Tapi Perang Tarif adalah strategi TERBURUK dan TERAKHIR sebelum perusahaan itu hancur (liat Mobile 8)

kira begitu tambahan dari saya.

Oia satu lagi. Bisnis Seluler adalah bukan Bisnis SIMCARD tapi bisnis COVERAGE & QUALITY NETWORK

That is why TSEL tetap #1 karena networknya sdh merambah luar Jawa sejak 10 taun yg lalu. Sedangkan Operator baru hanya bermain di P.Jawa

Selama Regulator masih berpihak pd Incumbent saya rasa sulit menggeser posisi ML saat ini.

Tetapi TSEL tak akan setangguh sekarang kalo tidak ada gebrakan dari XL dan ISAT yang kuat mendobrak dominasi, memperebutkan posisi

Terakhir, semoga Rakyat dpt menikmati dan mengambil keuntungan dari kondisi ini

Salam Tempur
Regards
Ur Friend @ Bandung